Balipustakanews.com, Buleleng – Badan Pangan Nasional (Bapanas) meminta masyarakat menanam dan mengonsumsi sorgum sebagai alternatif pangan pengganti beras. Penanaman dan konsumsi sorgum juga sebagai upaya untuk menekan impor beras.
Deputi III Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan Bapanas Andriko Noto Susanto mengatakan sorgum diharapkan bisa menjadi sumber pangan masa depan selain beras dan tepung terigu.
“Ke depan kami harapkan sorgum menjadi pangan yang baik di masa depan,” kata Andriko saat ikut memanen sorgum di Desa Telaga, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng, Bali, Jumat (29/3).
Andriko menilai selama ini Indonesia terlalu fokus dengan dua jenis bahan pokok, yakni beras dan terigu. Akhirnya beban beras dan terigu itu luar biasa berat.
“Di satu sisi, kita dihadapkan dengan alih fungsi lahan. Tingkat produktivitas lahan yang mulai rendah, dan sumber daya air yang mulai berkurang. Tapi di sisi lain konsumsi kita meningkat, penduduk kita meningkat, sehingga kalau bebannya cuma dua kita dalam kondisi yang berbahaya,” imbuhnya.
Andriko melanjutkan, sebenarnya ketersediaan beras di Indonesia aman, namun harganya memang lebih mahal. Hal itu karena jumlah produksi beras dalam negeri tidak sebanding dengan konsumsi beras yang semakin meningkat sehingga pemerintah harus mengimpor sebagian beras dari luar negeri.
Oleh karena itu, penanaman sorgum kini sedang digalakan agar konsumsi beras dapat ditekan. Nantinya hal itu bisa mengurangi impor beras dari luar.
“Kondisi beras seluruh Indonesia kita cukup. Cuma harganya naik karena memang sarana inputnya juga naik. Sebagian ditopang dengan impor. Kami pengen impornya diturunkan. Berarti konsumsinya (beras) kita turunkan, dengan cara mengganti dengan sorgum. Jadi ada substitusi selain beras,” jelasnya.
Saat ini, kata Andriko, pertanian sorgum sudah berkembang di sejumlah daerah di Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) hingga Jawa Timur (Jatim), termasuk di Bali, salah satunya berada di Desa Telaga. Lahan seluas 2 hektare yang dulunya kurang produktif di Desa Telaga telah ditanami sorgum sejak tahun lalu dan kini sudah bisa dipanen.
Ia menjelaskan kelebihan sorgum dari pangan lainnya, yakni bisa ditanam di lahan yang kering dan kurang subur. Ia berharap lahan yang ditanami sorgum di Kabupaten Buleleng bisa semakin meluas dengan melihat potensi yang ada.
“Kita tidak mengarahkan untuk berkompetisi dengan padi. Tetap ditanami padi pada saat air cukup. Tapi setelah itu ditanami sorgum pada saat sudah tidak memungkinkan lagi ditanami padi atau potensi panennya rendah. Karena kita butuhkan dua-duanya,” katanya.
Bapanas, kata Andriko, akan men-support peralatan untuk mengolah sorgum kepada petani agar bisa diolah menjadi aneka macam produk olahan, seperti tepung dan beras sorgum. Produk olahan tersebut nantinya bisa diserap oleh konsumen.
“Dari pelaku usaha dia menjadi buyernya. Hulunya ditanam dengan baik, tengahnya diolah dengan baik, hilirnya diserap pasar dengan baik sehingga petani dapat keuntungan,” jelas Andriko.
Salah satu petani sorgum di Desa Telaga Wayan Suarjana mengatakan dulunya lahan tersebut ditanami padi. Namun karena hasilnya kurang bagus, akhirnya pihaknya mencoba beralih menanam sorgum.
Ia mengatakan ada tiga petani yang ikut menanam sorgum. Sorgum itu mulai ditanam sejak Desember 2023 dan sekarang sudah bisa dipanen untuk pertama kalinya. Jika panen sorgumnya memuaskan, Suarjana mengaku akan melanjutkannya di tahun-tahun berikutnya.
“Sudah ada pembelinya. Bagaimana cara pengolahannya sudah ada. Kalau cocok hasilnya kami teruskan sorgumnya, lebih susah padi pengerjaanya, sorgum lebih ringan. Di sini cuma tiga petani,” katanya.
Konsultan Pertanian dari Buleleng I Nengah Suparna mengatakan sampai tahun ini sudah ada 30 hektar lahan di Gumi Panji Sakti yang sudah ditanami sorgum. Sebarannya ada di Kecamatan Kubutambahan, Kecamatan Sawan, Kecamatan Seririt, dan Kecamatan Busungbiu. Namun nantinya penanaman akan difokuskan di Kecamatan Seririt dan Busungbiu, melihat ketersediaan lahan dan animo masyarakat.
“Pemasaran sampai hari ini masih sangat kekurangan sebenarnya. Tapi kami sudah bekerjasama dengan beberapa buyer, cuma harapan kami tidak menjual dalam bentuk gabah tapi bisa dikonsumsi hasil produksi masyarakat itu sendiri. Kemudian olahannya baru kami jual. Jadi harapannya bisa dikonsumsi oleh masyarakat lokal,” harapnya. (PR/DTK)
Discussion about this post