Balipustakanews.com, Denpasar – Pemerintah Provinsi Bali menegaskan kembali pentingnya disiplin dan kepatuhan dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung di wilayah perhutanan sosial. Hal ini disampaikan melalui Surat Edaran Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup (DKLH) Provinsi Bali Nomor B.24.500.4/4985/PDAS.PM/DKLH, yang menekankan agar setiap kegiatan di kawasan tersebut dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Surat edaran tersebut menginstruksikan kepada seluruh pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial (PPPS) agar berpedoman pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial. Tujuannya, memastikan bahwa pemanfaatan kawasan hutan tidak melanggar fungsi utama hutan lindung sebagai pelindung sistem penyangga kehidupan.
Kepala DKLH Provinsi Bali, I Made Rentin, menjelaskan bahwa kegiatan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan lindung harus tetap menjunjung tinggi prinsip kelestarian dan kehati-hatian. “Dalam pemanfaatan hutan lindung, kegiatan pemanfaatan kawasan, jasa lingkungan, dan hasil hutan bukan kayu harus dilakukan tanpa menimbulkan kerusakan terhadap tutupan lahan maupun ekosistem hutan,” tegasnya di Denpasar, Minggu (12/10).
Rentin menambahkan, kebijakan ini merupakan langkah preventif untuk menjaga agar fungsi ekologis hutan tetap terlindungi serta mencegah terjadinya penyimpangan pemanfaatan di lapangan. Pemerintah, katanya, berupaya mengontrol dinamika pengelolaan perhutanan sosial agar selalu sesuai dengan ketentuan hukum dan prinsip keberlanjutan.
Ia menjelaskan bahwa kegiatan yang diizinkan dalam kawasan hutan hanya yang tercantum dalam Rencana Kelola Perhutanan Sosial (RKPS). Rencana tersebut sebelumnya harus dinilai oleh Kepala UPTD Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), disahkan oleh Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Denpasar, serta diketahui oleh Kepala DKLH Provinsi Bali.
Sementara itu, pada areal kerja PPPS, kegiatan pemanfaatan diperbolehkan dengan pola wanatani (agroforestry) menggunakan tanaman pokok kehutanan dan/atau Multi Purpose Tree Species (MPTS) dengan komposisi minimal 60 persen. “Pemanfaatan kawasan di hutan lindung agar menggunakan tanaman berkayu berumur panjang, berakar dalam, dan memiliki tingkat evapotranspirasi rendah. Jenis tanaman yang diutamakan adalah yang menghasilkan getah, kulit, buah, atau kayu,” imbuh Rentin.
Lebih lanjut, Rentin menegaskan bahwa penanaman tanaman umbi-umbian dan jenis tanaman lain yang dapat mengakibatkan degradasi tanah tidak diperkenankan di kawasan hutan lindung. Aktivitas semacam itu, katanya, dapat memicu erosi dan meningkatkan aliran permukaan (run-off) yang berpotensi merusak ekosistem.
Ia juga menegaskan larangan bagi pemegang izin untuk melakukan kegiatan yang dapat mengubah fungsi hutan, seperti pembukaan lahan baru, penebangan liar, atau pembangunan sarana yang merusak bentang alam. “Pemegang Persetujuan Pengelolaan Perhutanan Sosial juga tidak diperkenankan memindahtangankan atau menyewakan areal izin kepada pihak lain di luar ketentuan yang berlaku,” tandasnya. (hmsprv/pr)
Discussion about this post