BALIPUSTAKANEWS – Operasional mobil listrik wisata di Kota Solo mendapatkan kritikan dari pengamat transportasi, Djoko Setijowarno karena dianggap melanggar aturan. Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka menegaskan siap bertanggung jawab atas kebijakannya melanjutkan operasional mobil listrik wisata.
“Saya (yang tanggung jawab),” tegas Gibran saat ditanya wartawan di Balai Kota Solo, terkait siapa penanggung jawab pengoperasian mobil listrik wisata,
Gibran menyebut mobil listrik itu sudah mendapatkan izin dari Satlantas Polresta Solo. Mobil tersebut diperbolehkan turun di jalan umum karena alasan wisata.
“Izinnya dari Satlantas saja oke. Namanya sepur wisata kok,” katanya.
Apabila yang dikhawatirkan adalah keselamatan penumpang, Gibran mengatakan mobil listrik itu tidak membahayakan. Menurutnya, mobil berjalan pelan-pelan.
“Kan itu juga di tempat-tempat wisata to, tapi kalau di jalan raya kan nggak terus nge-drift kaya Tokyo Drift, nggak kaya Fast and Furious to, kan enggak. Pelan-pelan,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Solo, Hari Prihatno, menyebut mobil itu sebagai kendaraan listrik wisata. Dia mengklaim operasionalnya sudah sesuai Peraturan Menteri Perhubungan no 45 tahun 2020.
“Ini termasuk kendaraan tertentu dengan menggunakan penggerak motor listrik yang digunakan untuk mengangkut orang di wilayah operasi dan/atau lajur tertentu. Diatur dalam PM 45 tahun 2020,” ujar Hari.
Menurutnya, kendaraan listrik itu beroperasi khusus di kawasan wisata, meski ada beberapa jalan umum yang harus dilewati. Selain itu, tiap perjalanan mobil listrik akan dikawal tim dari Dishub.
“Ini kan beroperasi di kawasan wisata, seperti di keraton, kampung batik Laweyan, Manahan, tapi memang ada titik yang harus melintasi jalan umum. Nanti tetap kita kawal seperti Sepur Kluthuk Jaladara itu,” tutupnya.
Diberitakan sebelumnya, pengamat transportasi Djoko Setijowarno menyarankan agar operasional mobil wisata listrik sebaiknya dihentikan.
“Dengan alasan keselamatan, sebaiknya mobil listrik wisata dilarang beroperasi di jalan raya Kota Solo,” ujar Djoko kepada detikcom di Solo, Kamis (6/1/2022).
Jika memang mobil listrik tetap dijadikan sebagai transportasi umum untuk wisata maka bisa dijerat dengan Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
“Jika tetap dioperasikan di jalan umum, maka akan kena pasal sanksi hukum sesuai Pasal 277 UU LLAJ,” ucapnya.
Di dalam pasal tersebut dijelaskan, bahwa setiap orang yang memasukkan kendaraan bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan ke dalam wilayah Republik Indonesia, membuat, merakit, atau memodifikasi Kendaraan Bermotor yang menyebabkan perubahan tipe, kereta gandengan, kereta tempelan, dan kendaraan khusus yang dioperasikan di dalam negeri yang tidak memenuhi kewajiban uji tipe sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).
“Mobil listrik itu harus melalui uji tipe dulu supaya dikeluarkan SRUT (Surat Registrasi Uji Tipe). Dengan dasar SRUT dari Ditjenhubdat, maka Polisi mengeluarkan STNK dan pelat nomor kendaraan. Dan sebagai angkutan umum setiap 6 bulan wajib dilakukan uji berkala atau kir, ” katanya.
Tetapi, berbeda halnya jika mobil listrik itu dioperasikan di kawasan tertutup atau bukan di jalan raya. Menurutnya, hal itu tidak jadi masalah.
“Bukan masalah wisatanya, namun jalan yg dilaluinya, jika dioperasikan di lokasi tertutup misalkan di kawasan Jurug, atau di kantor balaikota Solo tidak ada pelat nomor juga tidak masalah. Jika di jalan umum, pasti berkaitan dengan keselamatan penumpang harus dapat jaminan asuransi,” pungkasnya.
(LP/GOOGLE)
Discussion about this post