BALIPUSTAKANEWS – Raja Ampat jadi destinasi top dunia. Siapa nyana bila Raja Ampat tak cuma indah, tapi juga menjadi pendaratan manusia purba penutur Austronesia, yang berdatangan dari Asia Tenggara menuju Paparan Sahul — sebuah benua saat Australia dan Papua masih menyatu.
Raja Ampat jadi lokasi pendaratan pertama nenek moyang bangsa-bangsa Papua, Papua Nugini, dan Australia setelah para ahli arkeologi membuat pemodelan komputer, yang memungkinkan beberapa peneliti untuk berhipotesis bahwa Kepulauan Raja Ampat mewakili lokasi pendaratan yang paling mungkin.
Hal itu diutarakan oleh Dylan Gaffney mahasiswa arkeologi University of Cambridge, Inggris, yang meneliti kehidupan prasejarah di Raja Ampat, “Simulasi komputer lain menunjukkan bahwa kolonisasi ini disengaja dan melibatkan ratusan orang yang merencanakan perjalanan mereka, dan dengan sengaja mengarahkan perahu atau rakit kecil dari pulau-pulau Asia Tenggara untuk mencapai Paparan Sahul,” ulas Gaffney dalam tulisannya.
Para pelaut Zaman Batu itu menetap dan tinggal di Papua hingga Maluku. Salah satu karya mereka yang tersembunyi di dua-gua berupa seni lukis di atas batu, rock art.
Membicangkan rock art di Raja Ampat dan sekitarnya, sejumlah pakar terlibat pembahasan seru dalam webinar bertajuk “Rock Art Papua dalam Dimensi Ruang dan Fungsi”. Perhelatan itu digelar Balai Arkeologi Papua bersama Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komisariat Daerah Sulawesi, Maluku, dan Papua (IAAI Sulam Papua) Rabu 12 Agustus 2020.
Para narasumber berusaha memecahkan dan mendiskusikan bersama bagaimana korelasi dan makna atas gambar-gambar cadas dari masa prasejarah, yang selama ini banyak menghiasi dinding batuan karts di wilayah seperti Papua, Maluku juga Sulawesi.
Dosen Fakultas Seni Rupa Intitut Teknologi Bandung (ITB) Pindi Setiawan sebagai salah satu pembicara, menyoroti manusia prasejarah menggambar objek dengan ketinggian menakjubkan di dinding cadas. Karya mereka bertebaran di pulau karst Misool, Raja Ampat, juga Kaimana di Papua serta kepulauan Kei, Maluku.
Motif seni cadas prasejarah di Kawasan Misool misalnya, terdiri dari motif cap tangan, motif binatang, motif geometris, motif bulat, motif antropomorfis, motif stensil beliung, dan motif stensil boomerang.
“Kalau Raja Ampat gambar cadas tertinggi itu sekitar 15 dan 20 meteran di atas air laut surut, sedangkan di Kaimana paling tinggi 25 meteran. Sedangkan kalau di Kei gambar tertinggi ada yang sampai 25 meteran dengan gambar kura-kura,” ujar Pindi dalam webinar yang dipandu peneliti pertama Balai Arkeologi Papua, Klementin Fairyo itu.
Penyebab mengapa para nenek moyang itu mengambil posisi sangat sulit saat menggambar pada dinding-dinding cadas tebing atas laut itu, masih menjadi misteri. Namun, dari teori yang dikaji, Pindi menuturkan ada beberapa hal yang bisa dicermati. Teori pertama jelas, bidang obyek untuk menggambar adalah bidang yang masih terjangkau oleh penggambar.
“Teori pertama harus itu. Bahwa seberapapun sulitnya obyek untuk menggambar itu dianggap bisa tergapai oleh penggambar,” ujarnya. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya, Pindi melanjutkan, jelas berkaitan erat dengan temuan arkeologis.
Di masa prasejarah itu, sebenarnya alat-alat apa yang sudah dikembangkan para nenek moyang sehingga bisa membuat mereka menjangkau tempat yang sekilas seperti tak mungkin terjamah itu, “Apakah alat-alat yang ditemukan di masa itu bisa untuk memotong, kita harus melakukan simulasi untuk merekonstruksi itu,” ujar Pindi.
Patut diketahui, Pulau Misool di Raja Ampat terdiri atas sederetan batu karang yang membentang di bagian barat dan timur, yang berbatasan langsung dengan Laut Seram dan perairan lepas yang menjadi jalur migrasi fauna laut. Dan gambar prasejarah di pulau-pulau karang Misool secara geologis menempati suatu lokasi rangkaian pulau-pulau karang nan sempit dan digenangi air laut. Sehingga posisi dan letak gambar ada di tebing yang langsung bersentuhan dengan air laut.
Lokasi ini sangat tidak memadai sebagai hunian manusia sehingga menjadi pertanyaan besar, bagaimana nenek moyang bisa menjangkau tebing-tebing terjal demi menggambar motif itu.
Pindi membayangkan di masa itu tentu sudah ada pasang dan surut air laut. Saat pasang memang ombak akan besar, namun saat masa surut kemungkinan manusia pada masa prasejarah memakai tangga untuk menggambar obyek-obyek di batuan cadas.
“Apakah alat-alat yang ditemukan di masa itu sudah bisa untuk membuat panggung atau tangga untuk menjangkau obyek yang akan digambar itu,” ujarnya.
Sedangkan teori ketiga, ujar Pindi, bisa juga tak terkait alat bantu yang membuat nenek moyang bisa menggambar di ketinggian itu. Misalnya gambar cadas di Kepulauan Kei, ia menduga bisa saja penggambar menggapai objeknya dari atas, bukan dari bawah. Karena jaraknya lebih dekat dengan puncak tebing daripada dari bawah yang dinilai lebih berbahaya dan curam.
“Menggambarnya pun mungkin di masa itu dalam posisi tak enak, bisa juga ada teknologi atau alat yang membantunya,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, pembicara lain, Dosen Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Indonesia, Cecep Eka Permana, menuturkan kemunculan gambar cadas di wilayah Papua dan Maluku tidak bisa dipisahkan karena ini bagian dari wilayah yang secara budaya relatif sama.
Walaupun dari sisi motif, gambar-gambar yang muncul di Papua dan Maluku tampak sangat berbeda dengan wilayah lain seperti Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra. Motif khas yang muncul di Papua adalah motif khas Pasifik, yang didominasi figur-figur simbolik religius.
“Kesulitan kita dalam memahami gambar gambar cadas itu, apakah sekedar figuratif atau simbolik, karena belum banyak referensi bagaimana hubungannya bentuk-bentuk yang muncul di masa lalu itu dengan bentuk-bentuk yang masih dikenali masyarakat sekarang,” ujar Cecep.
Jika ada bentuk dari gambar itu yang masih dikenali masyarakat sekarang, gambar cadas yang muncul di masa prasejarah itu bisa diketahui lebih mudah maksudnya.
Adapun Peneliti Balai Arkeologi Papua Zubair Mas’ud dalam kesempatan itu menuturkan kesulitan dalam merekonstruksi gambar-gambar cadas di Papua, terutama soal lokasinya yang sulit dicapai.
“Hampir situs situs gambar cadas itu semua ada di tebing tinggi dan sangat sulit untuk mendapat pijakan ketika ingin menjangkaunya,” ujarnya.
Discussion about this post