BALIPUSTAKANEWS – Desas-desus yang terjadi di tengah pandemi Covid-19, penurunan derastis yang terjadi dalam sektor perekonomian nampak paling sering dibicarakan dan dicemaskan. Bukan suatu hal yang tidak mungkin, sebab memang sangat masuk akal jika masyarakat mencemaskan perekonomian. Karena hal tersebut memang menjadi momok paling menakutkan yang terlihat jelas dengan mata kepala kita.
Namun, dampak yang terjadi sebenarnya bukan hanya dari sektor ekonominya saja, melainkan juga kesehatan mental. Adanya lockdown ataupun social distancing di seluruh dunia telah menyebabkan semua orang harus merelakan segala aktivitasnya sehari-hari. Tim medis, jurnalis, serta orang-orang yang berada di garda terdepan dalam menanggulangi wabah ini akan lebih rentan mengalami stress dalam kurun waktu yang lama dan bahkan dapat mengalami trauma.
Tak hanya pihak yang berada di garda terdepan saja, para pegawai yang dirumahkan atau di-PHK juga rentan mengalami depresi. Kemudian, orang-orang yang sebelumnya mengidap anxiety, self harm, dan depresi akan mengalami peningkatan. Seperti yang dituturkan oleh Emily Holmes dari Departemen Psikologi Universitas Uppsala, Swedia, “Meskipun peningkatan gejala stress dan cemas selama situasi luar biasa ini telah diramalkan, tetapi ada risiko jumlah orang yang mengidap anxiety, depresi, dan melakukan tindakan berbahaya seperti menyakiti diri sendiri akan meningkat secara signifikan”.
Karantina yang diterapkan oleh Pemerintah secara tidak langsung akan menimbulkan rasa bosan, kesepian, cemas yang tidak berujung kepastian, dan terasingkan akan menimbulkan adanya gejala gangguan mental seperti stress dan depresi. Para peneliti di Lancet Psychiatry mengharapkan agar penelitian mengenai kesehatan mental juga dapat diprioritaskan dan dilakukan pengetahuan mengenai kesehatan mental pula. Pada tahun 2002-2003 saat terjadinya epidemi SARS, jumlah kesehatan menurun derastis. Angka self harm mencapai 30% pada orang berusia 65 tahun ke atas, 50% pasien yang sudah sembuh tetap mengalami kecemasan, dan 29% tim medis mengalami gangguan emosional.
Tak hanya itu, orang yang telah sembuh dari penyakit ini pun rentan mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD). Jika dilihat dari penularannya antara covid-19, SARS, dan MERS tentu saja Covid-19 jauh lebih cepat penyebarannya. Akibatnya, peningkatan jumlah pasien terinfeksi akan semakin meningkat dalam kurun waktu yang pendek. Hal ini berarti bahwa penurunan tingkat kesehatan mental pun dapat mencapai lebih daripada saat terjadinya kasus SARS dan MERS.
Sebenarnya tidak hanya para pegawai saja yang rentan mengalami penurunan kesehatan mental, tetapi para pelajar juga sama rentannya. Bayangkan saja aktivitas para pelajar-khususnya mahasiswa-sebelum adanya pandemi sudah pasti aktif berorganisasi, bahkan beberapa telah menyusun event dengan sebaik mungkin dan telah menghabiskan banyak waktu untuk rapat dan segala macamnya.
Discussion about this post