BALIPUSTAKANEWS – Upacara “mebayuh” bukan hal yang asing lagi bagi umat Hindu. “Mebayuh” merupakan salah satu upacara manusa yadnya, dimana dalam lontar Pewacakan Pemayuh berasal dari kata “bayuh” yang memiliki arti dayuh (kenyamanan atau keseimbangan). Keseimbangan yang dimaksud yaitu antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit. Konsep “mebayuh” ini juga menjadi satu kesatuan dengan konsep “Tri Hita Karana” antara Bhuana Agung dan Bhuana Alit, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), manusia dengan alam (Palemahan), dan manusia dengan manusia (pawongan). Upacara ini juga dipercaya dapat menetralisir sifat atau karakter buruk atau sering disebut dengan Sad Ripu yang dibawa oleh diri manusia sejak lahir.
Upacara “mebayuh” dilaksanakan tepat pada hari kelahiran yang dimana berdasarkan dengan hari, wuku, dan wewaran kelahiran. Sebelum upacara “mebayuh” dilaksanakan, perlu dilakukan pewacakan. Dimana pewacakan yaitu membaca sastra atau tenung tentang sifat bawaan menurut hari kelahiran, karena setiap wuku dan wewaran memiliki jenis upakara yang berbeda-beda sehingga banten dan tempat pelaksanaannya pun akan berbeda sesuai dengan hari kelahiran.
Makna lain dari upacara “mebayuh” ini juga sebagai sarana untuk membayar hutang (naurin). Dalam hal ini hutang yang dimaksud adalah hutang-hutang pada kelahiran seseorang yang dibawa sejak lahir. Dimana hutang ini dibayar atau ditebus dengan sarana upakara. Maka dari itu dalam upacara “mebayuh” terdapat serangkaian banten “penebusan”.
Selain itu, hal unik yang wajib ada dalam upacara “mebayuh” ini yaitu wajib ada guwungan atau sangkar ayam. Guwungan atau sangkar ayam ini memiliki makna sebagai Asta Aiswarya atau delapan kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Ini berarti manusia harus tunduk dan menyadari akan delapan kemahakuasaan Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga memuja kemahakuasaan Tuhan. (SY/Google)
Discussion about this post