Menghindari Emosi
Ya, menghindari emosi. Terkadang, saat membaca buku, pembaca merasakan suatu emosi tertentu, baik itu emosi yang bersifat positif atau negatif. Yang berbahaya adalah, saat emosi tersebut berupa emosi negatif, maka seseorang cenderung akan berpikiran buruk, bahkan hingga mengeluarkan kata-kata umpatan, yang tentu saja tidak dianjurkan di hari suci, di depan sastra suci pula. Dengan logika ini, maka sebenarnya juga tak dianjurkan untuk membaca, termasuk membaca melalui perangkat elektronik meskipun yang disajikan upacara banten hanya buku-buku dan lontar saja.
“Kalau untuk menyepikan diri memang sebaiknya semua disenyapkan, apalagi media sosial. Media sosial itu kan rentan hujatan. Padahal, tulisan itu wahana untuk menyampaikan ilmu yang bisa digunakan manusia untuk menjadi makhluk utama, bukan untuk meboye apalagi saling hujat,” lanjut alumnus Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar ini.
Tak Membaca, Tak Menulis
Tak hanya tak dianjurkan untuk membaca selama perayaan Hari Raya Saraswati, namun hal ini juga berlaku bagi kegiatan menulis. Dijelaskan oleh Putu Sabda, hal ini ada kaitannya dengan sistem penulisan lontar pada jaman dulu. “Orang dulu kan menulis sesuatu di lontar. Nah, kalau sekalinya ada salah menulis, itu lontarnya langsung dibejek lalu dibuang, ulang dari awal lagi. Itu istilahnya ‘membunuh aksara’, yang juga tidak patut dilakukan ketika ilmu pengetahuan dianugerahkan. Kalau jaman sekarang istilahnya men-delete tulisan,” jelasnya.
Lalu, dengan berbagai penjelasan tersebut, kapan anjuran ‘tak membaca’ ini berakhir? Di antara banyaknya anggapan bahwa anjuran ini berlaku seharian penuh, ada pula yang mengambil batas waktu persembahyangan setelah jam 12 siang sebagai batas. Namun, di sore hari, umat sudah boleh kok, membaca atau menulis lagi. (CF/Google)
Discussion about this post