BALIPUSTAKANEWS – Hari Raya Saraswati merupakan salah satu perayaan besar bagi Umat Agama Hindu yang biasa dilaksanakan pada Saniscara (Sabtu) Umanis Watugunung. Menurut kepercayaan Umat Hindu , Hari Raya Saraswati merupakan salah satu hari dimana merayakan turunnya ilmu pengetahuan yang dilambangkan oleh Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan.
Di hari ini, para umat Hindu akan melakukan persembahyangan dan menghaturkan banten di atas tumpukan sumber kesusastraan, seperti buku dan lontar. Penghaturan banten di atas tumpukan buku ini menyebabkan buku-buku tersebut tak bisa dibaca, yang menimbulkan budaya atau mitos ‘tak boleh membaca saat Hari Saraswati’.
Di satu sisi, memang benar budaya ini terjadi karena buku-buku tersebut sedang diperlakukan sakral sehingga tak boleh ‘diganggu’ pada hari turunnya ilmu pengetahuan. Di hari suci ini, Dewi Saraswati yang menjadi dewi ilmu pengetahuan malinggih di sumber-sumber sastra tersebut. Namun di balik itu, ada juga makna filsafat yang lebih mendalam yang menjelaskan budaya ini.
Sakral
Yang pertama, dilihat dari sisi sejarah Hindu, umat Hindu pada zaman dahulu tak sembarangan boleh dan bisa memahami bacaan lontar atau Weda yang menjadi kitab suci agama Hindu. Pemahaman terhadap teks kesusastraan hanya terbatas pada masyarakat yang terpelajar. Maka, masyarakat biasa yang tak bisa atau boleh membacanya, menganggap buku atau lontar kesusastraan sebagai barang yang sakral.
“Tak seperti sekarang, kita selesai membaca buku langsung ditaruh sembarangan. Bayangkan orang zaman dulu yang tak bisa membaca, mereka menganggap lontar adalah barang sakral yang tak bisa diperlakukan sembarangan. Maka dari itu, di Hari Saraswati ini kita memperlakukan buku sebagai barang sakral,” ujar Dr Putu Sabda Jayendra SPdH MPdH, dosen agama Hindu Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional.
Page 1 of 2
Discussion about this post