Balipustakanews.com, Denpasar – Enam penjor berukuran besar berdiri megah di halaman Pura Sakenan, Desa Serangan, sebagai bagian dari Lomba Penjor Desa Serangan. Di antara seluruh karya yang dipamerkan, penjor dari sekaa teruna (ST) Banjar Kaja Serangan menjadi salah satu yang paling mencuri perhatian lantaran biaya pembuatannya mencapai sekitar Rp 35 juta.
Perwakilan ST Banjar Kaja Serangan, Robby Mertadana, menjelaskan bahwa penjor setinggi 12 meter itu terinspirasi langsung dari lingkungan Pura Sakenan. Ia menyebut pemilihan tiga warna utama biru, kuning, dan hijau mewakili karakter wilayah Serangan yang dikelilingi laut dan hutan mangrove.
“Filosofinya kami ambil dari Pura Sakenan. Biru itu sebagai lautan, seperti samudra. Kuning itu sebagai filosofi Hari Raya Kuningan. Hijau itu sebagai mangrove,” ujar Robby saat ditemui di sela-sela lomba, Kamis (27/11/2025).
Untuk memperkuat kreativitas visual, ST Banjar Kaja Serangan juga menambahkan sebuah patung mini yang menggambarkan sosok pemangku. Robby menyebut pengerjaannya memakan waktu dua hari dan masih dalam tahap penyempurnaan. “Astungkara, bisa menang. Ini masih persiapan, belum 100 persen,” tambahnya.
Fenomena penjor berdesain mewah memang belakangan menjadi sorotan publik, terlebih menjelang Hari Raya Galungan dan Kuningan. Banyak warganet menilai penjor masa kini semakin kompleks dan tak sesederhana dulu. Namun, sejumlah praktisi budaya memiliki pandangan berbeda.
Budayawan sekaligus juri lomba, Anak Agung Rimbya Temaja, menegaskan bahwa penjor pada dasarnya adalah sarana upakara yang juga menjadi ruang kreativitas. Ia menekankan bahwa yang utama adalah niat tulus dalam pembuatannya. “Silakan saja mewah, dia kan punya dana. Kalau yang sederhana, buat sederhana,” ucapnya.
Agung menjelaskan bahwa penjor seharusnya tetap mengikuti konsep nista, madya, dan utama, serta mempertimbangkan desa–kala–patra. Ia menambahkan bahwa penjor sederhana dapat dibuat dengan biaya sekitar Rp 100 ribu, asalkan unsur wajib seperti pala bungkah dan pala gantung tetap dipenuhi.
“Nggak ada biaya standar. Yang penting rasa ikhlas, tulus ikhlas. Itu kuncinya sebenarnya,” tuturnya.
Ia menilai perdebatan mengenai kemewahan penjor tidak perlu diperpanjang. Perkembangan kreativitas itu, menurutnya, justru menunjukkan dinamika budaya Bali yang hidup dan terus tumbuh. Berbagai festival dan lomba penjor yang kini bermunculan juga menjadi ruang kebersamaan. “Kekompakan, gotong royong, itu luar biasa ini. Membuat penjor ini kan harus gotong royong,” pungkasnya. (prn)




