BALIPUSTAKANEWS – Umat Hindu khusus nya di Bali memiliki banyak perayaan hari suci , salah satunya hari Suci Tilem. Hari Suci Tilem biasanya dilakukan Umat Hindu untuk mendekatkan diri kehadapan Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa, dengan melakukan persembahyangan berupa canang sari.
Bulan tilem juga sering di istilahkan dengan hati atau pikiran manusia yang sedang menyusut, dengan perumpamaan yang berbasis pada kekuatan kala atau waktu. Jika pikiran seseorang sedang keruh, dirasuki oleh sifat – sifat angkara murka, maka diistilahkan dengan bulan yang dewatanya sedang menyusut menuju pada kegelapan (Tilem). Hal ini hampir dialami oleh setiap orang, sehingga pada bulan tilem banyak orang yang masih bingung dan meraba – raba dalam kegelapan karena manusia ada dalam pengaruh maya atau kepalsuan. Pengaruh maya atau kegelapan disimboliskan dengan bulan mati atau tilem yang selalu bertarung dalam pikiran manusia, jika Atma Tatwa yang menang atau lebih dominan maka seseorang akan menjadi bijaksana, welas asih dan berbudi pekerti yang luhur, jika Maya Tatwa yang menang atau lebih dominan maka egonya muncul, ingin selalu lebih unggul, mudah sekali dihinggapi oleh sifat – sifat buruk.
Persembahan hari Tilem dimaksudkan agar umat Hindu yang tekun melaksanakan persembahan dan pemujaan pada hari Tilem, ketika meninggal rohnya tidak diberikan jalan yang sesat (neraka), namun sebaliknya agar diberikan jalan ke swarga loka oleh Sang Hyang Yamadipati (Lontar Purwana Tattwa Wariga). Hari suci tilem dirayakan dengan tujuan untuk menumpas kegelapan tersebut berupa hawa nafsu jahat yang disebut dengan Sad Ripu, yaitu: Kama (hawa nafsu), Kroda (kemarahan), Lobha (ketamakan), Moha (keterikatan), Mada (kesombongan), dan Matsarya (iri hati atau kebencian).
Oleh karena itu menurut petunjuk sastra Agama Hindu ”Lontar Purwa Gama” menuntun umat Hindu agar selalu ingat melaksanakan suci laksana, khususnya pada hari Purnama dan hari Tilem, untuk mempertahankan serta meningkatkan kesucian diri, terutama para Wiku, untuk mensejahterakan alam beserta isinya karena semua mahluk akan kembali ke hadapan yang Maha Suci, tergantung dari tingkat kesucian masing-masing.
Proses penyucian diri, menurut petunjuk Sastra Agama yang penekannya pada, ”Suci Laksana”, karena pada pelaksanaannya mengandung makna yang sangat tinggi, dalam arti pada penekanan tersebut sudah terjadi penyatuan dari pelaksanaan Catur Yoga, sehingga atas kekuatan dari Catur Yoga tersebut dapat menyucikan Stula Sarira (badan Kasar), dan Suksma Sarira (badan halus) dan Antahkarana Sarira (Atma), yang ada pada diri manusia khususnya umat Hindu.
Discussion about this post