BALIPUSTAKANEWS – Sutradara Angga Dwimas Sasongko mengungkap dua hal yang menjadi titik tolaknya dalam membuat sebuah karya film.
Hal tersebut ia sampaikan saat dirinya menjadi salah satu pembicara dalam diskusi publik bertajuk ‘Masa Depan Demokrasi di Indonesia: Menyoal Pembungkaman Suara Kritis Masyarakat.
“Mungkin sejak 2012 saya sudah berikrar gitu, bahwa setiap saya berkarya, saya ingin belajar dari orang lain,” kata Angga.
Oleh karena itu, ia lebih banyak membuat film berdasarkan sesuatu yang berada di sekitarnya, alih-alih berdasarkan kehidupan pribadi.
Ia mengaku hal tersebut juga dilakukan sebagai usaha dirinya untuk melihat, merasakan, dan mengetahui lebih jauh tentang kehidupan.
“Makanya yang lahir kemudian adalah Cahaya dari Timur dan Surat dari Praha. Lalu, kemudian ketika saya membuat film dengan gaya pop seperti Ben & Jody pun ini tetap saya lakukan,” sambungnya.
Kedua, ayah satu anak itu juga selalu berangkat dari kegelisahan dalam membuat sebuah karya.
Angga mengaku, dua hal tersebut kemudian membawa dirinya pada banyak sekali pertemuan dengan orang-orang yang pada akhirnya membentuk dirinya hingga hari ini.
Ia pun menuturkan, saat membuat Cahaya dari Timur, ia bertemu dengan orang-orang yang mengalami konflik beragama di Ambon. Kemudian saat menggarap Surat dari Praha, ia bertemu dengan orang-orang yang dipaksa terasing karena situasi politik 1965.
“Di Ben & Jody, saya ketemu dengan masyarakat yang sumber kehidupannya dirampas oleh otoritas maupun kekuatan-kekuatan usaha,” sambungnya.
Lebih lanjut, Angga mengatakan, sebagai seorang sutradara, ia memiliki medium yang bisa diakses oleh bahkan jutaan orang. Hal tersebut juga ia manfaatkan untuk menyajikan isu-isu penting ke penonton.
(LP/GOOGLE)
Discussion about this post