Balipustakanews.com, Denpasar – Rencana pembangunan moda transportasi Mass Rapid Transit (MRT) di Bali menuai berbagai tanggapan dari masyarakat. Tak sedikit warga yang meragukan apakah proyek ini benar-benar dapat menjadi solusi atas persoalan kemacetan di Pulau Dewata.
Keraguan ini muncul karena Bali meniru konsep MRT dari Jakarta, yang meskipun sudah memiliki sistem MRT, tetap belum mampu sepenuhnya mengurai kemacetan di ibu kota.
Mega Arnidya, seorang penulis yang pernah tinggal lama di Jakarta dan kini menetap di Bali, menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap rencana tersebut. Menurutnya, kondisi geografis dan skala wilayah Pulau Jawa dan Bali sangat berbeda.
“Jakarta masih macet walaupun sudah punya MRT, karena jalan-jalan utama sudah padat dan sebagian ruangnya juga sudah diambil oleh jalur Transjakarta,” ujarnya pada Selasa (24/6). Ia juga menilai jangkauan MRT terbatas, tidak sampai ke daerah pinggiran atau pedesaan, sehingga masyarakat tetap mengandalkan kendaraan pribadi.
Mega juga mengkritisi bahwa jika Bali ingin belajar dari Jakarta, seharusnya langsung dari tokoh-tokoh yang terlibat penuh dalam pembangunan MRT, seperti Ahok dan Jokowi, bukan dari Rano Karno yang dinilainya tidak terlibat secara teknis dalam proses pembangunan.
Sebelumnya, penandatanganan nota kesepahaman antara Bali dan Jakarta terkait proyek MRT dilakukan saat pertemuan Gubernur Bali, I Wayan Koster, dan Wakil Gubernur Jakarta, Rano Karno.
Mega menilai, untuk mengatasi kemacetan, Bali seharusnya lebih fokus pada optimalisasi sistem transportasi umum yang sudah berjalan seperti Trans Dewata. Ia menyarankan agar layanan Metro Trans diperluas ke wilayah timur dan barat Bali yang selama ini kurang terlayani, dibandingkan membangun sistem transportasi baru yang membutuhkan anggaran besar.
Rencana MRT Bali sendiri diarahkan untuk menghubungkan Bandara Ngurah Rai ke berbagai kawasan pariwisata utama. Namun, warga Denpasar, Mery, mengingatkan agar proyek ini mempertimbangkan kondisi lalu lintas yang sudah ada karena pembangunan dapat memperparah kemacetan, terutama jika jalurnya melewati kawasan wisata yang padat.
Mery juga menolak jika proyek ini hanya berorientasi pada kepentingan pariwisata. Ia berharap MRT menjadi solusi transportasi yang inklusif bagi semua lapisan masyarakat, bukan hanya turis.
Permasalahan kemacetan di Bali memang tengah menjadi perhatian banyak pihak, karena tidak hanya dikeluhkan oleh wisatawan, tetapi juga menyusahkan warga lokal.
Menanggapi hal tersebut, Gubernur Koster menyampaikan bahwa pembangunan MRT menjadi langkah penting karena pembangunan jalan layang atau pelebaran jalan di Bali sangat terbatas akibat keterbatasan ruang dan keberadaan pura maupun bangunan sakral lainnya.
“Kita sangat butuh MRT karena pembangunan jalan layang tidak memungkinkan. Ruang kiri-kanan jalan sudah padat dengan rumah warga dan pura,” ujar Koster di Denpasar, Jumat (13/6). (kmp/pr)
Discussion about this post