DENPASAR, BALIPUSTAKANEWS – Masyarakat Bali, khsusunya yang beragama Hindu percaya dengan adanya punarbawa atau lahir kembali. Dalam bahasa Indonesia disebut reinkarnasi. Banyak yang kerap bertanya, atau nunas baos siapa yang lahir kembali ke keluarga mereka. Apakah itu kakek, nenek, buyut, atau sanak saudara lainnya yang lahir kembali ke rumah itu.
Mengenai hal tersebut, I Dewa Ayu Hendrawathy Putri, Sekretaris Prodi Magister Ilmu Komunikasi Hindu Pascasarjana UHN I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar, mengatakan bahwa pada intinya manusia bisa hidup karena ada roh atau atman sebagai percikan kecil dari Brahman (Tuhan).
Hingga berdasarkan Weda, kata dia, yang ada di dalam tubuh manusia atau dalam metafisik manusia (Aham, Brahman, Asmin).
“Maka daripada itu, kita sebagai agama Hindu nusantara di Bali, meyakini sebuah spirit dengan jalan kebenaran Panca Sradha atau lima keyakinan/Atmanastuti,” jelasnya kepada Tribun Bali, Kamis (10/12/2020).
Dari Panca Sradha tersebut, umat Hindu di Bali percaya dengan adanya karma, punarbawa, dan moksa. Dari Tiga Sradha ini, roh itu kemudian bisa lahir kembali maupun moksa.
“Nah semua itu disebabkan oleh karma dari manusia,” tegasnya. Yang dihidupkan oleh roh atau Brahman tersebut. Sebab roh sesungguhnya bersifat impersonal.
“Jadi ketika roh Itu menyatu pada diri manusia karena manusia diikat oleh Triguna. Yakni Tamasika, Rajasika, dan Satruika,” sebutnya.
Semua ini dikendalikan oleh panca indria hingga manusia Itu bisa berkarma baik maupun tidak baik. “Atau bisa diartikan sebagai kebenaran hukum Rwa Bhineda dalam Ajaran agama Hindu,” imbuhnya.
Berdasarkan karmaphala, atas dasar dari kebenaran hukum Rwa Bhineda, roh yang bersifat impersonal itu apabila berkarma baik atau dharma.
Kemudian dengan kualitas kesucian roh, maka roh itu akan mencapai moksa atau menyatu dengan Acintya. Sebaliknya, apabila roh yang ada dalam diri manusia tidak berkarma baik atau berlaku buruk selama hidupnya.
“Maka dia sudah pasti akan terlahir kembali (punarbawa) menjadi manusia bahkan bisa menjadi binatang,” tegasnya.
Kebenaran dari pada karma, punarbawa, dan moksa ada di dalam Wiracarita (Itihasa) Atma Presangsa.
Yang menceritakan perjalanan Panca Pandawa menuju surga dengan mendaki Gunung Himalaya.
Hingga dari Panca Pandawa yang mampu sampai di surga adalah hanya Yudhistira (Dharma Wangsa).
“Sedangkan di dalam cerita Itihasa Swarga Rawana Parwa, menceritakan di mana Sang Yudhistira beserta seekor anjing (yang merupakan penjelmaan dari Sang Hyang Dharma) bisa masuk ke surga, dan setelah di surga dilihatlah sang satus Korawa mendapatkan surga bersama adik-adiknya,” jelasnya.
Sedangkan adiknya, sang catur Pandawa mendapatkan neraka. Ia menjelaskan, dengan kejadian seperti itulah yang dilihat oleh sang Yudhistira.
Bagaimana Korawa yang bersifat Rajasika dan Tamasika mendapatkan surga. Sedangkan sebaliknya yang bersifat Satruika (dharma) mendapatkan neraka.
Hingga sang Yudhistira, tidak mau masuk ke surga karena adik-adiknya dilihat mendapatkan neraka.
“Dengan rasa setia kepada adik-adiknya sang catur Pandawa. Membuat sang Yudistira ikut masuk ke dalam api neraka.
Setelah masuknya ke dalam api neraka bersama adik-adiknya, berubah lah neraka menjadi surga dan surga yang ditempati oleh sang satus Korawa berubah menjadi neraka,” katanya.
Berdasarkan kebenaran dari pada Wiracarita Atme Presangsa dan Swarga Rawana Parwa itulah, dapat disimpulkan bahwa sebagai umat Hindu meyakini adanya punarbawa dan moksa.
Dimana itu tergantung pada karma manusia dengan kualitas spirit roh atau Brahman di dalamnya.
Selanjutnya, ketika berbicara punarbawa (kelahiran kembali) dengan pemahaman teologi yang bersifat lokal (dari perspektif Antropologi Budaya), di Bali meyakini bahwa leluhur Itu sudah menyatu dengan Brahman.
“Sebagai contoh, ada sebuah tradisi ritual setelah upacara Atma Wedana ada tradisi ritual mendak leluhur di Pura Dalem di wilayah masing-masing,” jelasnya.
Roh leluhur Itu, diidentitaskan dengan purusha-pradana atau feminim-maskulin.
“Dan setelah dipendak di Pura Dalem, kita akan stanakan di merajan kemulan (rong telu), dengan penempatan yang purusha di rong sisi selatan dan yang pradana di rong sisi utara.
“Dengan tradisi ritual itulah, kita di Bali meyakini bahwa leluhur menyatu dengan Brahman atau Acintya,” tegasnya.
Tradisi meluasan (nunas baos) itu merupakan salah satu budaya yang diperkuat oleh keyakinan masyarakat Bali dan berdasarkan kebenaran lontar Samskara.
“Ketika memiliki anak yang baru lahir berusia 12 hari, dan pada umumnya ketika pusarnya sudah lepas, hingga anak tersebut diyakini bahwa dijiwai oleh leluhur atau nenek moyangnya yang tidak beridentitas,” jelasnya.
Dari kebenaran itu, bisa diterima atas dasar logika, karena pada intinya manusia Itu adalah makhluk sosial yang berbudaya.
Tradisi ritual yang dilakukan umat Hindu di Bali, merupakan kebenaran atas dasar kesepakatan yang sangat diyakini secara turun-temurun sampai sekarang.
“Dengan kebenaran dari tiga kerangka Agama Hindu (Tattwa, Susila, Upacara) yang berlandaskan Panca Sradha,” ucapnya.
Discussion about this post