BANGLI, BALIPUSTAKANEWS – Dampak ekonomi yang dirasakan selama pandemi Covid-19 nyatanya tak berpengaruh terhadap permintaan Anjing Kintamani.
Terlebih sejak mendapat pengakuan dunia pada tahun 2019 silam, permintaan anjing asal Desa Sukawana, Kintamani itupun justru kian meningkat.
Hal tersebut dibenarkan oleh salah satu peternak (breeder) Anjing Kintamani, I Nengah Darsana, Selasa (1/12/2020).
Ia mengungkapkan, sejatinya permintaan terhadap hewan peliharaan khususnya anjing, rata-rata memang mengalami peningkatan selama pandemi covid-19.
Menurut dia, hal ini dikarenakan banyak masyarakat ataupun pegawai kantoran yang lebih banyak beraktivitas dari rumah (WFH).
Mengenai mengkatnya permintaan Anjing Kintamani, lanjutnya, selain pasca merebaknya pandemi covid-19 bulan Maret, juga pasca trah Anjing Kintamani diakui dunia pada 2019 silam.
Saat kondisi normal, permintaan Anjing Kintamani rata-rata sebanyak 20 ekor per bulan. Kini meningkat, mencapai 25 hingga 30 ekor per bulan.
“Jujur tiyang sampai kewalahan memenuhi permintaan. Sedangkan tiyang sendiri untuk bulan ini saja, hanya bisa memenuhi enam ekor,” ucapnya.
Usia anjing Kintamani yang banyak diminati, rata-rata berusia dua bulan hingga tiga setengah bulan.
Harganya sendiri dibedakan menurut kelasnya. Yakni kelas pet dan stambum.
“Kelas pet ini untuk peliharaan di rumah saja. sedangkan kelas stambum untuk diikutkan dalam lomba. Untuk kelas pet harganya berkisar antara Rp 1,5 hingga 2,5 juta. Sementara kelas stambum harganya mencapai Rp 5 juta per ekor,” jelasnya.
Adanya perbedaan kelas Anjing Kintamani lantaran hingga kini pihaknya masih dalam tahap pemuliabiakan (pemurnian). Sebab, tidak diketahui silsilah anjing tersebut.
Karenanya dalam perkawinan Anjing Kintamani, pihaknya hanya bisa mendapatkan 80 persen anakan dengan kualitas bagus.
“Misalnya dari anakan tiga atau empat ekor, ada satu ekor yang kelas pet,” tuturnya.
Mengenai kekurangan kelas pet, pria asal Desa Landih, Bangli itu menerangkan dapat dilihat dari standarisasinya.
Antara lain warna hidung yang tidak hitam melainkan agak kecoklatan, ekor terlalu melengkung, dan sebagainya.
Darsana mengatakan pihaknya saat ini memelihara 12 ekor indukan betina dan empat ekor pejantan.
Untuk proses kawin sendiri dilakukan setahun dua kali, dengan masa kehamilan selama 65 hingga 70 hari.
Pihaknya mengaku belum bisa menambah indukan, sebab terkendala management pengelolaan.
“Di dunia anjing itu tidak bisa hanya sekedar memberi makan ataupun membersihkan kandang. Harus memiliki chemistry dan hobby terhadap anjing. Karenanya untuk banyaknya permintaan yang masuk, tiyang hanya biarkan saja. Sebab hingga kini konsep tiyang belum ke bisnis, melainkan masih ke pelestarian,” tandas pria yang juga anggota DPRD Bangli itu.
Discussion about this post