Balipustakanews.com, Denpasar – Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) memanfaatkan Bali International Film Festival (Balinale) ke-18 sebagai wadah untuk menjembatani para pelaku industri film dengan para investor.
Deputi Bidang Kreativitas Kemenparekraf, Agustini Rahayu, di Denpasar pada Minggu menjelaskan bahwa dukungan terhadap festival film ini menjadi langkah konkret pemerintah dalam mempertemukan insan perfilman dengan sumber pendanaan.
“Kami menyadari bahwa setiap subsektor ekonomi kreatif, khususnya film, membutuhkan dana besar. Karena itu, kami menjalin kolaborasi melalui pendekatan hexahelix,” ujarnya.
Agustini menambahkan bahwa Balinale merupakan contoh bagaimana festival bisa membuka akses pelaku kreatif ke pasar global serta menciptakan peluang ekonomi untuk talenta lokal.
Menurutnya, untuk membuat film pendek komersial saja diperlukan dana hingga Rp10 miliar, yang mencakup produksi dan promosi.
“Walau tidak bisa membantu langsung lewat APBN, kami memfasilitasi pertemuan antara pelaku industri dan investor melalui forum-forum seperti ini,” jelasnya.
Festival ini tak hanya mendorong distribusi karya film ke investor untuk menunjang keberlanjutan para kreator, tetapi juga menjadi sarana memperkenalkan Indonesia ke panggung internasional.
Ia menekankan bahwa film adalah sektor kreatif prioritas yang memiliki potensi besar dalam menghibur sekaligus menyampaikan identitas bangsa serta memperluas pengaruh budaya Indonesia secara global.
Contoh keberhasilan dari Balinale adalah film Eat, Pray, Love yang mengangkat nama Bali ke dunia dan meningkatkan kunjungan wisatawan mancanegara.
Sementara itu, Pendiri sekaligus Direktur Balinale, Deborah Gabinetti, menyampaikan bahwa tahun ini festival menayangkan 72 film dari 32 negara, dengan 23 di antaranya berasal dari Indonesia.
Deborah optimistis bahwa partisipasi Indonesia dalam ajang ini akan memperkuat posisi suara dan karya kreatif Indonesia di dunia internasional.
Ia juga menyoroti potensi besar Indonesia dari segi lokasi dan keragaman budaya serta etnis yang menarik bagi produksi film internasional, seperti yang dialami saat syuting film Savages bersama Oliver Stone di Pulau Moyo.
Deborah menegaskan bahwa dukungan pemerintah terhadap infrastruktur distribusi, promosi, dan pemasaran karya sangat penting agar cerita-cerita dari Indonesia tidak hanya berputar di komunitas lokal, melainkan bisa menjangkau audiens global. (ant/pr)
Discussion about this post